Ketidakadilan Pelayanan Kesehatan
Baru-baru ini kasus kericuhan pada antrean pasien dukun cilik di Jombang membuat kita terpana. Keinginan masyarakat untuk sehat terhambat masalah keuangan sehingga pengobatan alternatif macam dukun cilik ini kian marak dan ramai didatangi.
Cerita orang miskin di negeri ini “disandera” rumah sakit sudah biasa. Jangan pula heran jika seorang ibu muda yang baru melahirkan tidak bisa membawa pulang bayinya dari klinik. Masalahnya sama, yaitu tidak mampu membayar biaya pelayanan kesehatan. Namun akar utamanya sebenarnya adalah anggaran kesehatan sangat kecil dan sistem kesehatan yang diskriminatif. Anggaran kesehatan di negeri ini kalah jauh dengan anggaran pendidikan dan pertahanan. Dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2009 yang berjumlah Rp1.037,1 triliun, anggaran Departemen PendidikanRp207,4 triliun, Departemen Pertahanan Rp33,7 triliun, dan Departemen Kesehatan Rp20,3 triliun.
Dari segi proporsi anggaran kesehatan itu hanya 2,8 persen dari total APBN 2009. Belum pernah anggaran kesehatan lebih dari 3 persen dari total APBN. Dari tahun ke tahun jumlah anggaran memang meningkat, tapi proporsinya menurun. Anggaran Departemen Kesehatan tahun 2005 Rp11,14 triliun (2,9 persen dari total APBN), tahun 2006 Rp13,98 triliun (2,3 persen dari total APBN), tahun 2007 Rp18,75 triliun (2,7 persen dari total APBN), dan tahun 2008 Rp18,76 triliun (2,49 persen dari APBN).
Angka ini jauh dari anggaran yang disarankan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni 15 persen dari APBN. Meski anggaran itu ditambah APBD, dana alokasi khusus, dan pinjaman/ hibah luar negeri (PHLN), tetap saja jumlahnya kurang dari standar WHO. Mengapa anggaran kesehatan sangat kecil? Para pejabat negeri ini belum sepenuhnya memperhatikan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan fisik mendominasi benak para pengambil kebijakan. Padahal, sudah banyak penelitian membuktikan bahwa warga negara yang sehat akan menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bersama yang lebih baik.
Sampai kini, untuk melayani kesehatan dasar (untuk menyembuhkan warga sakit) pun belum tertangani semua. Ini menandakan bahwa harapan untuk memiliki rakyat yang sehat dan berkualitas jauh panggang dari api. Target mengurangi kematian bayi dan kematian ibu serta meningkatkan umur harapan hidup bisa terancam gagal jika pemerintah tidak bekerja lebih keras lagi untuk mencapai hasil maksimal.
Untuk memecahkan persoalan tersebut, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari sudah mencoba sejumlah terobosan. Di antaranya lewat kebijakan program Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin) atau kini diganti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Program ini memberikan harapan bahwa akses untuk masyarakat bawah mulai terbuka.
Harus diakui dalam kasus Askeskin memang terjadi mismanajemen, pendataan yang kurang maksimal, klaim bermasalah, dan kekurangan lain, tapi bukan berarti tiada harapan. Sampai kini baru Sumatera Selatan yang mengadopsi kebijakan Jamkesmas dan beberapa rumah sakit yang ditunjuk Departemen Kesehatan.
Berobat gratis menjadi jalan pendek untuk melayani kesehatan kaum miskin. Cakupan Jamkesmas harus diperluas lagi agar usia harapan hidup terus meningkat.
Menurut saya ini adalah masalah yang sudah umur terjadi disekitar kita, yang namanya berobat gratis lah atau biaya pengobatan gratis nyatanya tidak semuanya berjalan lancer, selalu ada alasan agar para pasien tersebut membayar biaya rumah sakit yang telah dipakai. Padahal apabila orang yang miskin yang tidak memiliki biaya, tetapi secara kebetulan harus d rawat dirumah sakit itu sangat penting, apakah nyawa seseorang harus dihitung dengan UANG? Uang bukan segalanya karena nyawa manusia itu lebih berarti, jadi sebaiknya menteri kesehatan harus melakukan sidak dalam rumah sakit yang sering melakukan biaya pada orang yang memiliki askes atau surat pengobatan gratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar